#DIRUMAH(kan)AJA
Hai, apa kabar ? Sudah hari yang ke berapa karantina ini ? Masih konsisten untuk tetap berada di rumah saja atau sudah mulai jenuh dengan keadaan ?
Sebuah apresiasi untuk kalian yang tetap konsisten berada di rumah dan menahan diri untuk tidak mudik ke kampung halaman demi kebaikan bersama. SALUTE TO YOU !
Bicara keadaan saat ini tidak menutup kemungkinan menjadikan COVID-19 sebuah pandemi yang membawa bencana besar bagi segala aspek kehidupan masyarakat. Sebagai contoh, kelangkaan masker, APD, sanitizer dan lainnya diikuti dengan harga yang drastis naik tanpa logika, rumitnya urusan pernikahan yang mau tidak mau harus ditunda dan kegiatan bekerja serta belajar mengajar yang mengharuskan untuk tidak secara tatap muka.
Berbagai upaya turut dilakukan untuk memutus mata rantai penyebaran, salah satunya dengan aksi social-physical distancing yang akrab dilakukan dengan menetap #dirumahaja. Ya meskipun ada beberapa orang yang butuh beradaptasi dengan keadaan, kegiatan ini tentu menimbulkan sisi negatif dan positif.
Yang menarik adalah ketika kita sibuk untuk tetap #dirumahaja, di sisi lain ada juga yang harus #dirumah(kan)aja. Isu ini perlahan sudah mulai naik ke permukaan kehidupan publik, khususnya menyangkut ranah psikososial ekonomi masyarakat
Mari menggiring opini ...
Kita tahu jenis pekerjaan orang di Indonesia relatif beragam, diikuti dengan tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan lain sebagainya. Kita bekerja tentunya untuk memperoleh pendapatan yang mana nantinya dapat berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan hidup apalagi era modern yang sekarang semuanya serba mahal. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik di bulan Februari 2018, Penduduk yang bekerja sebayak 129,36 juta orang, bertambah 2,29 juta orang. Bagaimana dengan tahun ini? Tentunya semakin banyak bukan ? Namun tidak semua dari kita beruntung bisa bekerja di perusahaan yang stabilitasnya terjaga dan terkontrol.
Beberapa hari yang lalu, melalui akun instagramnya, Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Energi Provinsi DKI Jakarta menyebutkan bahwa terdapat 162.416 pekerja di Jakarta terpaksa dirumahkan dan terdampak PHK akibat penurunan perekonomian di tengah pandemi dengan rincian 30.137 pekerja dari 3348 perusahaan di PHK dan 132.279 pekerja dari 1469 perusahaan dirumahkan .
Mari kita lihat pada posisi pekerja buruh harian lepas, outsourcing, sales dan marketing. Beberapa hari yang lalu sempat mendapat sedikit cerita bahwa beberapa posisi yang disebutkan tadi rentan untuk dirumahkan, bahkan sudah ada yang dirumahkan, apalagi melihat kondisi negara yang dilanda pandemi. lalu yang jadi pertanyaan adalah ....
1. Mengapa mereka harus dirumahkan ?
2. Apa peran pemerintah ?
3. Bagaimana selanjutnya nasib mereka untuk bertahan hidup di tengah pandemi ?
4. Lalu bagaimana dengan yang masih bekerja ?
2. Apa peran pemerintah ?
3. Bagaimana selanjutnya nasib mereka untuk bertahan hidup di tengah pandemi ?
4. Lalu bagaimana dengan yang masih bekerja ?
Sebelum membahas pertanyaan tersebut, mari kita kritisi pertanyaan pertama.
MENGAPA MEREKA HARUS DIRUMAHKAN ?
Bicara tentang mengkritisi, tentu kita tidak bisa hanya melihat pada satu sisi. Analisa permasalahan setidaknya ditelusuri dari hulu hingga hilirnya. Permasalahan ini bisa kita lihat dari 2 sisi , pertama yaitu sisi perusahaan dan yang kedua sisi pekerja.
- Sisi Perusahaan -
Mungkin bisa dikatakan bahwa para pekerja mengeluhkan masalah kompensasi yang mana tidak sesuai pada standar operasional perusahaan yang tertuang dalam perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Misal, pada perjanjian kerja tertulis bahwa masa kontrak kerja selama 1 tahun setelahnya diperbarui untuk tahun berikutnya berdasarkan pertimbangan tertentu. Ketika wabah melanda sedangkan pekerja baru bekerja selama 6 bulan dan tiba-tiba harus dirumahkan, perusahaan paling tidak memberikan kompensasi sisa masa kerjanya dalam setahun. Namun pada kenyataannya, ketika keluhan pekerja disampaikan, perusahaan cenderung kurang bisa memberikan alternatif solusi yang mampu menenangkan nasib mereka. Alih-alih tidak bisa membayar gaji di kemudian hari dan tidak bisa memberikan kompensasi, justru menyuruh pekerja untuk membuat surat pengunduran diri. Malah beberapa perusahaan masih bingung bagaimana cara memanusiakan pekerjanya.
Kemudian, pihak perusahaan pun pada akhirnya berada di titik stagnan untuk memikirkan profit perusahaan yang mengalami degradasi di tengah pandemi. Tinggal bagaimana mereka mampu mempertahankan perusahaan di angka stabil.
Tapi apakah mungkin ?
Apakah perusahaan disalahkan atas merumahkan pekerjanya tanpa kompensasi ?
atau
apakah langkah perusahaan sudah tepat merumahkan para pekerjanya ?
- Sisi Pekerja -
Bagaimana dengan sisi pekerja ? Kita tahu latar belakang pendidikan masyarakat berbeda-beda diikuti pula dengan pemerataan ekonomi yang cenderung minim. ketika bicara pekerjaa, mereka cenderung berpikir "yang penting bisa menghasilkan uang untuk anak dan istri dan juga diri pribadi"
Bagaimana dengan kondisi seperti ini dengan posisi kerja yang tadi telah disebutkan di atas ? Masih banyak dari pekerja yang rela beralih profesi. Masih banyak buruh harian lepas yang terlihat di jalanan mengais sedikit rejeki untuk anak dan istri.
Loh, kan disuruh dirumah saja ? Tapi ketika mereka di rumah, mereka mau makan apa ?
Apa yang selanjutnya bisa dilakukan pekerja yang pada akhirnya terpaksa dirumahkan ? Alih profesi berdagang ? Tentu beberapa ada yang terbentur oleh modal. Jikalau modal tersedia, apa yang mau mereka jual ? Alat-alat pencegahan penularan pandemi ? Alih-alih berdagang memenuhi kebutuhan, yang ada justru komentar massa yang sepihak mengatakan hanya untuk mencari keuntungan subjektif di tengah bencana.
Kembali pada soal mental dan kesiapan masyarakat yang masih minim dan terlalu nyaman berada pada posisi kerja sehingga takut untuk keluar dari zonanya tanpa diikuti dengan memikirkan alternatif pekerjaan yang memumpuni untuk kembali menopang mutu kehidupannya.
Selain itu, lagi-lagi soal pemerataan ekonomi dan pendidikan. Sistem pendidikan yang memang dari kurun waktu ke waktu yang keliru tidak menyelipkan pengasahan soft skill pada masyarakat. Sehingganya sampai saat ini masih banyak masyarakat yang tercetak dari pendidikan menghafal, bukan tercetak karena berkompetensi dan berpikir kritis mencari alternatif pilihan untuk perbaikan hidupnya. Didorong juga dari segi kultural masyarakat yang beragam sehingganya masyarakat terbiasa dimanja dengan "fasilitas yang ada" bukan mencoba untuk berinovasi secara berkelanjutan. Masyarakat kita juga terikat dalam hidup yang penuh kepasrahan.
Lantas, sekarang apa masyarakat yang disalahkan ? Tentu tidak juga.
Ujung-ujungnya semua masalah dilarikan pada solusi ke pemerintahan. Bagaimana Pak Gubernur ? Menteri ? Presiden ? mari kita jawab pertanyaan kedua.
Negara diibaratkan sebagai rumah sakit, elit pemerintahan sebagai dokternya dan masyarakat sebagai pasiennya. Ketika mereka sakit, datang menemui dokter berharap segera mendapatkan obat supaya lekas membaik. Namun, sebelum memberikan obat yang tepat, dokter perlu mendiagnosa penyakit apa yang diderita hingga ke akarnya.
Begitu pula pemerintah, sebelum memutuskan kebijakan, ada kalanya butuh menganalisa permasalahan melalui pertimbangan-pertimbangan agar tepat sasaran serta alternatif solusi lainnya, apalagi ditengah permasalahan insidental seperti saat ini. Di sisi lain, kembali pada masyarakat yang menilai kinerja elit pemerintahan yang masih belum cepat tanggap.
Memang saat ini kebijakan pemerintah mayoritas yang kita lihat mengacu pada top-down sehingga implementasi kebijakan sering kurang tepat sasaran ke masyarakat dan memang perlu banyak di kritisi. Challenge pemerintah sudah cukup banyak dan pemerintah mungkin bisa berperan secara makro. Akan tetapi, pada dasarnya semua kebijakan yang diturunkan elit pemerintah pasti bertujuan mulia, tapi bagaimana implementasinya di lapangan ? Apakah masyarakat juga sudah mengelolanya dengan baik ? Di mana unsur "partisipasi" massa ketika kebijakan sudah dicetuskan ?
Kemudian, pihak perusahaan pun pada akhirnya berada di titik stagnan untuk memikirkan profit perusahaan yang mengalami degradasi di tengah pandemi. Tinggal bagaimana mereka mampu mempertahankan perusahaan di angka stabil.
Tapi apakah mungkin ?
Apakah perusahaan disalahkan atas merumahkan pekerjanya tanpa kompensasi ?
atau
apakah langkah perusahaan sudah tepat merumahkan para pekerjanya ?
- Sisi Pekerja -
Bagaimana dengan sisi pekerja ? Kita tahu latar belakang pendidikan masyarakat berbeda-beda diikuti pula dengan pemerataan ekonomi yang cenderung minim. ketika bicara pekerjaa, mereka cenderung berpikir "yang penting bisa menghasilkan uang untuk anak dan istri dan juga diri pribadi"
Bagaimana dengan kondisi seperti ini dengan posisi kerja yang tadi telah disebutkan di atas ? Masih banyak dari pekerja yang rela beralih profesi. Masih banyak buruh harian lepas yang terlihat di jalanan mengais sedikit rejeki untuk anak dan istri.
Loh, kan disuruh dirumah saja ? Tapi ketika mereka di rumah, mereka mau makan apa ?
Apa yang selanjutnya bisa dilakukan pekerja yang pada akhirnya terpaksa dirumahkan ? Alih profesi berdagang ? Tentu beberapa ada yang terbentur oleh modal. Jikalau modal tersedia, apa yang mau mereka jual ? Alat-alat pencegahan penularan pandemi ? Alih-alih berdagang memenuhi kebutuhan, yang ada justru komentar massa yang sepihak mengatakan hanya untuk mencari keuntungan subjektif di tengah bencana.
Kembali pada soal mental dan kesiapan masyarakat yang masih minim dan terlalu nyaman berada pada posisi kerja sehingga takut untuk keluar dari zonanya tanpa diikuti dengan memikirkan alternatif pekerjaan yang memumpuni untuk kembali menopang mutu kehidupannya.
Selain itu, lagi-lagi soal pemerataan ekonomi dan pendidikan. Sistem pendidikan yang memang dari kurun waktu ke waktu yang keliru tidak menyelipkan pengasahan soft skill pada masyarakat. Sehingganya sampai saat ini masih banyak masyarakat yang tercetak dari pendidikan menghafal, bukan tercetak karena berkompetensi dan berpikir kritis mencari alternatif pilihan untuk perbaikan hidupnya. Didorong juga dari segi kultural masyarakat yang beragam sehingganya masyarakat terbiasa dimanja dengan "fasilitas yang ada" bukan mencoba untuk berinovasi secara berkelanjutan. Masyarakat kita juga terikat dalam hidup yang penuh kepasrahan.
Lantas, sekarang apa masyarakat yang disalahkan ? Tentu tidak juga.
Ujung-ujungnya semua masalah dilarikan pada solusi ke pemerintahan. Bagaimana Pak Gubernur ? Menteri ? Presiden ? mari kita jawab pertanyaan kedua.
APA PERAN PEMERINTAH ?
Negara diibaratkan sebagai rumah sakit, elit pemerintahan sebagai dokternya dan masyarakat sebagai pasiennya. Ketika mereka sakit, datang menemui dokter berharap segera mendapatkan obat supaya lekas membaik. Namun, sebelum memberikan obat yang tepat, dokter perlu mendiagnosa penyakit apa yang diderita hingga ke akarnya.
Begitu pula pemerintah, sebelum memutuskan kebijakan, ada kalanya butuh menganalisa permasalahan melalui pertimbangan-pertimbangan agar tepat sasaran serta alternatif solusi lainnya, apalagi ditengah permasalahan insidental seperti saat ini. Di sisi lain, kembali pada masyarakat yang menilai kinerja elit pemerintahan yang masih belum cepat tanggap.
Jadi, apakah elit politik yang bekerja tidak cepat tanggap atau rakyat yang cepat menilai didasari paradigma yang kaku dan konservatif ?
Memang saat ini kebijakan pemerintah mayoritas yang kita lihat mengacu pada top-down sehingga implementasi kebijakan sering kurang tepat sasaran ke masyarakat dan memang perlu banyak di kritisi. Challenge pemerintah sudah cukup banyak dan pemerintah mungkin bisa berperan secara makro. Akan tetapi, pada dasarnya semua kebijakan yang diturunkan elit pemerintah pasti bertujuan mulia, tapi bagaimana implementasinya di lapangan ? Apakah masyarakat juga sudah mengelolanya dengan baik ? Di mana unsur "partisipasi" massa ketika kebijakan sudah dicetuskan ?
Daripada kita menyulut pemerintah untuk cepat beraksi, mengapa kita tidak coba bersama-sama berempati dan mulai pada menumbuhkan kesadaran diri ? Minimal kita bantu pemerintah meringankan beban-beban negara.
Hal yang ditakutkan pada jangka panjang adalah ketika memang insiden dirumahannya para pekerja dan kondisi ekonomi negara semakin buruk, yang terjadi selanjutnya adalah angka kriminalitas semakin tinggi. Lagi-lagi soal perut manusia.
Manusia dapat berpikir jernih, berpikir dengan logis tentu membutuhkan energi. Mereka butuh asupan. Bagaimana jika pekerjaan tidak ada ? solusi tidak bisa ditemukan, cari alternatif pun bingung sehingga pada akhirnya manusia menempuh jalan pintasnya dengan melakukan tindak kriminal. Lambat laun manusia akan berubah menjadi makhluk yang buas ketika kebutuhannya tidak kunjung terpenuhi.
BAGAIMANA SELANJUTNYA NASIB MEREKA UNTUK BERTAHAN HIDUP DI TENGAH PANDEMI ?
Jangan panik. Negara tentu sedang mengupayakan yang terbaik.
Pertanyaan terakhir untuk catatan kritis kita kali ini adalah ...
LALU BAGAIMANA DENGAN YANG MASIH BEKERJA ?
Sudah jelas bahwa paparan di atas merupakan bentuk refleksi diri bagi pekerja yang sampai saat ini masih aktif bekerja di perusahaannya. Tinggal bagaimana kita cerdas dalam merencanakan, mengelola, mengontrol dan mengambil langkah antisipasi serta mencari alternatif solusi bagi perekonomian kita secara pribadi kedepan dalam menghadapi pandemi.
Saya bersyukur, dengan adanya pandemi setidaknya memberikan efek positif pada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran diri dan bersikap peduli pada kehidupan bersama. Tinggal bagaimana kita melakukannya secara kontinyu dan sama-sama berpegang teguh memutus rantai malapetaka pandemi.
KARENA NASIB DIRI, KELUARGA, DAN NEGARA TENTUNYA JATUH DI TANGAN ANDA.
Data Source :
https://www.bps.go.id/pressrelease/2019/05/06/1564/februari-2019--tingkat-pengangguran-terbuka--tpt--sebesar-5-01-persen.html
https://www.instagram.com/disnakertrans_dki_jakarta/
Requested by :
Inggrit Fernando (Photographer, Social Enthusiast)
Thank's to :
Nina Lestari (Freelancer, Writer and Social Enthusiast)
Arrum Mulia Anasis (Writer and Social Enthusiast)
Ade Amanda (Bank Officer)
Dio Aditya Chandra (National Shipping Agency Officer)
Anita Febria (Social and Government Master Student)
Bobby Adia (Archivist - ANRI)
https://www.instagram.com/disnakertrans_dki_jakarta/
Requested by :
Inggrit Fernando (Photographer, Social Enthusiast)
Thank's to :
Nina Lestari (Freelancer, Writer and Social Enthusiast)
Arrum Mulia Anasis (Writer and Social Enthusiast)
Ade Amanda (Bank Officer)
Dio Aditya Chandra (National Shipping Agency Officer)
Anita Febria (Social and Government Master Student)
Bobby Adia (Archivist - ANRI)
Comments
Post a Comment