KEMBALI MEMBANGUN RASA


Hidup tentu tidak terlepas dari persoalan cinta. Tidak mungkin manusia di dunia ini tidak merasakannya, sekalipun itu di lingkup keluarga. Bicara soal perasaan, terkadang memang tidak diungkapkan secara verbal bahkan ada yang mengungkapkannya melalui bahasa tubuh. 

"Bicara cinta, itu artinya bahwa ada kegiatan di mana sama-sama saling menaruh sebuah kepercayaan di dalamnya dan berkomitmen pada satu tujuan bersama"

Problematika tentang rasa tentu beragam. Ada yang tersampaikan dengan baik, ada yang hanya sebatas memendam bahkan hingga berujung pada penolakan yang sarkastik. Sangat nyaman ketika kita melihat atau merasakan suatu hubungan terjalin begitu langgeng hingga mereka sama-sama saling menggapai tujuan bersama. Ada pula yang merasakan sebaliknya, menjalin sebuah hubungan tentu tidak serta merta berjalan pada lintasan yang mulus. Butuh banyak pengorbanan hingga terkadang berujung pada kesedihan. 

"Berakhirnya suatu hubungan terkadang menyisakan trauma untuk kembali percaya pada seseorang"

Memang, menjalin sebuah rasa pada lawan jenis tentu menghabiskan waktu yang panjang diikuti dengan pengalaman-pengalaman yang sungguh berkesan dan tidak ingin dilupakan begitu saja. Tetapi ketika cinta berakhir pada ujung pengorbanan, hanya rasa sedih dan trauma yang tersisa. 

Mengapa orang bisa trauma ?

Trauma bisa terjadi ketika mendapatkan kesan terburuk baik secara fisik seperti pengalaman merasakan kekerasan oleh pasangan, maupun mental seperti terlalu sering mendapatkan perlakuan kasar secara verbal yang berujung pada rasa tertekan. 

Namun, trauma juga bisa terjadi ketika salah satu pasangan merasa bahwa apa yang telah dilakukannya gagal dan terulang kembali ketika ia mencoba kesekian kalinya. 
Sebagai contoh, pasangan yang kerap kali menjalin hubungan dengan periode yang cukup lama (hitungan tahun) dan berakhir pada perpisahan, ketika mencoba kembali, hal yang sama terjadi untuk kesekian kalinya. 

Saya pernah mendengar istilah :
"Cinta datang membawa 2 alasan, 
untuk kebahagiaan dan untuk sebuah pelajaran"

Saya percaya, tidak semata-mata perpisahan adalah bentuk kegagalan yang fatal dalam suatu hubungan. Bukankah setiap kegagalan tentu akan disertai sebuah pelajaran ? 
Pelajaran untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama pada kesempatan berikutnya,
Pelajaran untuk lebih awas bersikap dan saling memahami satu sama lain, dan 
Pelajaran untuk lebih tidak terlalu menjadi dominan dalam suatu hubungan. 

Rasa sedih dan trauma wajar di rasakan oleh setiap orang ketika suatu hubungan tidak memungkinkan untuk dipertahankan, akan tetapi jika hal tersebut berlangsung secara berkepanjangan, dampak yang terjadi adalah kita sulit untuk membangun kepekaan pada orang lain dan berpikiran cenderung ke arah negatif dalam menilai orang karena masih tersisa akan masa lalu yang buruk dan terus terbawa hingga kedepannya. 

"Saya lelah harus mengenalnya dari nol lagi, dekat lagi, membangun kembali, senang lagi, mengerti lagi, sedih lagi, konflik lagi. Lebih baik saya sendiri sampai saya menemukan orang yang tepat untuk ke jenjang yang lebih serius"

Sering diantara kita yang mengucapkan hal demikian ketika rasa trauma masih membekas akan pengalaman masa lalu. Perlu diingat bahwa untuk menemukan orang yang tepat jelas membutuhkan proses yang panjang. Tidak serta merta secara instan kita menemukannya dengan mudah di depan mata. Itulah kenapa komitmen dari diri sendiri harus dibentuk dan coba kembali membangun rasa ....

Lantas, bagaimana kita bisa kembali membangun rasa ?

Yang berlalu, biarlah berlalu. Hal yang bisa dilakukan pertama adalah berkomitmen pada diri sendiri untuk mencoba lagi diikuti dengan kesiapan mental ketika menghadapi lawan jenis. Berkomitmen di sini artinya siap menerima setiap resiko ketika suatu saat dipertemukan dengan hal-hal yang tidak sesuai dengan harapan. Dengan berkomitmen pada diri sendiri itu artinya sudah mampu memberanikan diri untuk terus mencoba lagi. 

Kedua, ketika kita sudah siap dengan segala resiko ke depan, jangan pernah lelah untuk terus mengenal lebih jauh siapa lawan jenis kita. Mengenal di sini termasuk mengenal karakteristik dan sikap lawan jenis baik yang positif maupun negatif. Ketika kita mampu mengenalnya lebih dalam, kita bisa memahami apa yang diinginkan pasangan kita karena pada dasarnya cinta bukan soal bagaimana kita merubah pasangan kita, melainkan memahami dan menerima dan mendukung kekurangan pasangan kita. 

Ketiga, karena trauma yang masih tersisa, terkadang kita terlalu bersikap agresif untuk cepat memutuskan suatu tujuan. Misalnya, karena kita trauma dengan masa lalu, maka ketika mencoba lagi, kita memutuskan untuk cepat menikah dengan pasangan kita agar tidak terulang kembali kesalahan yang sama. Merumuskan tujuan menjalin suatu hubungan memang perlu, akan tetapi didukung dengan komitmen pada diri sendiri serta mampu memahami bagaimana kondisi pasangan kita. Dengan proses bertahap dan perlahan tidak membuat kita untuk gegabah dalam membangun kembali sebuah rasa yang pernah ada ...

Ketika bicara soal cinta,
bahagia atau gagal adalah hal yang biasa,
kadang trauma membuat kita putus asa
dan takut untuk terus mencoba

Masa lalu mengajarkan kita
Untuk selalu bersikap dewasa
dan setidaknya kita tidak tergesa-gesa
ketika mencoba kembali membangun rasa






Comments

Popular Posts